Pengertian jenis kekuasaan bentuk negara dan sistem pemerintahan merupakan aneka konsep pokok dalam studi ilmu politik. Dalam
mempelajari ilmu politik kita kerap ‘dipusingkan’ oleh berbagai macam
istilah yang satu sama lain saling berbeda. Peristilahan yang seringkali
ditemukan tersebut misalnya monarki, tirani, aristokrasi, oligarki,
demokrasi, mobokrasi, federasi, kesatuan, konfederasi, presidensil, dan
parlementer. Bagaimana kita harus mengkategorikan masing-masing istilah
tersebut?
Apa beda antara monarki dengan
parlementer? Sama atau berbedakah pengertian antara tirani dengan
monarki? Dalam konteks apa kita berbicara mengenai presidensil atau
oligarki? ‘Pemusingan’ ini merupakan awal dari proses belajar, dan
jangan kita surut, melainkan terus maju dengan membaca. Potret Indonesia
Jika kita berbicara mengenai monarki, tirani, aristokrasi, oligarki,
demokrasi, dan mobokrasi, berarti kita tengah berbicara mengenai
jenis-jenis kekuasaan. Jika kita berbicara mengenai federasi, kesatuan,
dan konfederasi, berarti kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk
negara. Jika kita berbicara mengenai presidensil dan parlementer berarti
kita tengah berbicara mengenai bentuk-bentuk pemerintahan.
Jika kita berbicara mengenai jenis kekuasaan, berarti kita tengah
berbicara mengenai apakah kekuasaan itu dipegang oleh satu tangan
(mono), beberapa tangan atau orang (few), ataukah banyak tangan atau
orang (many). Definisi kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau
sekelompok orang untuk mempengaruhi pihak lain agar mereka menuruti
keinginan atau maksud si pemberi pengaruh. Dalam hal ini, pihak pemberi
pengaruh dapat berwujud mono, few, atau many.
Jika kita berbicara mengenai bentuk negara, berarti kita tengah
membicarakan bagaimana sifat atau hubungan antara kekuasaan pusat saat
berhadapan dengan daerah. Hubungan seperti ini disebut pula sebagai
hubungan vertikal, artinya ‘pusat’ diasumsikan berada di atas ‘daerah’,
dalam mana keberadaan pusat di ‘atas’ tersebut berbeda derajatnya baik
di negara kesatuan, federasi, atau konfederasi.
Akhirnya, jika kita berbicara mengenai bentuk pemerintahan, berarti kita
tengah berbicara mengenai kekuasaan dalam arti horizontal, khususnya
seputar hubungan antara legislatif dengan eksekutif. Legislatif dan
eksekutif, dalam doktrin Trias Politika adalah setara, yang satu tidak
lebih berkuasa atau lebih tinggi posisinya ketimbang yang lain. Dalam
hubungan horizontal inilah kita akan menemui pembicaraan mengenai
presidensil atau parlementer.
Jenis-Jenis Kekuasaan
1. Monarki dan Tirani
Monarki berasal dari kata ‘monarch’ yang berarti raja, yaitu jenis
kekuasaan politik di mana raja atau ratu sebagai pemegang kekuasaan
dominan negara (kerajaan). Para pendukung monarki biasanya mengajukan
pendapat bahwa jenis kekuasaan yang dipegang oleh satu tangan ini lebih
efektif untuk menciptakan suatu stabiltas atau konsensus di dalam proses
pembuatan kebijakan. Perdebatan yang bertele-tele, pendapat yang
beragam, atau persaingan antarkelompok menjadi relatif terkurangi oleh
sebab cuma ada satu kekuasaan yang dominan.
Negara-negara yang menerapkan jenis kekuasaan monarki hingga saat ini
adalah Inggris, Swedia, Denmark, Belanda, Norwegia, Belgia, Luxemburg,
Jepang, Muangthai, dan Spanyol. Di negara-negara ini, monarki menjadi
instrumen pemersatu yang cukup efektif, misalnya sebagai simbol
persatuan antar berbagai kelompok yang ada di tengah masyarakat. Kita
perhatikan negara yang modern dan maju seperti Inggris dan Jepang pun
masih menerapkan sistem monarki.
Namun, di negara-negara ini, penguasa monarki harus berbagi kekuasaan
dengan pihak lain, terutama parlemen. Proses berbagi kekuasaan tersebut
dikukuhkan lewat konstitusi (Undang-undang Dasar), dan sebab itu,
monarki di era negara-negara modern sesungguhnya bukan lagi absolut
melainkan bersifat monarki konstitusional. Bahkan, kekuasaannya hanya
bersifat simbolik (sekadar kepala negara) ketimbang amat menentukan
praktek pemerintahan sehari-hari (kepala pemerintahan). Di ke-10 negara
monarki yang telah disebut di atas, pihak yang relatif lebih berkuasa
untuk menentukan jalannya pemerintahan adalah parlemen dengan perdana
menteri sebagai kepala pemerintahannya.
Jenis monarki lainnya yang kini masih ada adalah Arab Saudi. Negara ini
berupa kerajaan dan raja adalah sekaligus kepala negara dan
pemerintahan. Kekuasaan raja tidak dibatasi secara konstitusional, tidak
ada partai politik dan oposisi di sana. Pola kekuasaan di Arab Saudi
juga dikenal sebagai dinasti (Dinasti al-Saud), di mana pewaris raja
adalah keturunannya.
Bentuk pemerintahan yang buruk di dalam satu tangan adalah Tirani.
Tiran-tiran kejam yang pernah muncul dalam sejarah politik dunia
misalnya Kaisar Nero, Caligula, Hitler, atau Stalin. Meskipun Hitler
atau Stalin memerintah di era negara modern, tetapi jenis kekuasaan yang
mereka jalankan pada hakekatnya terkonsentrasi pada satu tangan, di
mana keduanya sama sekali tidak mau membagi kekuasaan dengan pihak lain,
dan kerap kali bersifat kejam baik terhadap rakyat sendiri maupun lawan
politik.
2. Aristokrasi dan Oligarki
Dalam jenis kekuasaan monarki, raja atau ratu biasanya bergantung pada
dukungan yang diberikan oleh para penasihat dan birokrat. Jika kekuasaan
lebih banyak ditentukan oleh orang-orang ini (penasihat dan birokrat)
maka jenis kekuasaan tidak lagi berada pada satu orang (mono) melainkan
beberapa (few).
Aristokrasi sendiri merupakan pemerintahan oleh sekelompok elit (few)
dalam masyarakat, di mana mereka ini mempunyai status sosial, kekayaan,
dan kekuasaan politik yang besar. Ketiga hal ini dinikmati secara
turun-temurun (diwariskan), menurun dari orang tua kepada anak. Jenis
kekuasaan aristokrasi ini disebut pula sebagai jenis kekuasaan kaum
bangsawan (aristokrasi).
Biasanya, di mana ada kelas aristokrat yang dominan secara politik, maka
di sana ada pula monarki. Namun, jenis kekuasaan oleh beberapa orang
ini —aristokrasi— tidak bertahan lama, oleh sebab orang-orang yang orang
tuanya bukan bangsawan pun bisa duduk mempengaruhi keputusan politik
negara asalkan mereka berprestasi, kaya, berpengaruh, dan cerdik. Jika
kenyataan ini terjadi, yaitu peralihan dari kekuasaan para bangsawasan
ke kelompok non-bangsawan, maka hal tersebut dinyatakan sebagai
peralihan atau pergeseran dari aristokrasi menuju oligarki.
Untuk menggambarkan peralihan di atas, baiklah kami kemukakan apa yang
terjadi di Inggris. Sebelum terjadinya Revolusi Industri padaa abad
ke-18 —tepatnya sebelum mesin uap ditemukan oleh James Watt— Inggris
menganut jenis kekuasaan monarki dengan kaum bangsawasan (aristokrat)
sebagai pemberi pengaruh yang besar.
Namun, setelah Revolusi Industri mulai menunjukkan efek, yaitu berupa
munculnya kelas menengah baru (pengusaha baru yang kekayaan diperoleh
sendiri bukan diwariskan), maka kekuasaan kaum bangsawasan dalam
mempengaruhi kekuasaan monarki mulai ‘digerogoti.’ Kelas menengah baru
ini mulai menentukan jalannya kekuasaan di parlemen, dan, pengaruh kaum
‘Orang Kaya Baru’ ini dinyatakan sebagai jenis kekuasaan oligarki.
Hingga saat ini, di parlemen Inggris terdapat dua kamar yaitu House of
Lords dan House of Commons. Kamar yang pertama berisikan kaum bangsawan
(namanya didahului dengan Sir), sementara yang kedua banyak diisi oleh
kaum kaya yang berpengaruh, meskipun mereka bukan berdarah bangsawan.
House of Commons lebih menentukan jalannya parlemen Inggris ketimbang
House of Lords. Dengan demikian, oligarki-lah yang lebih berkuasa di
Inggris ketimbang aristokrasi pada masa kini.
3. Demokrasi dan Mobokrasi
Jika kekuasaan dipegang oleh seluruh rakyat, bukan oleh mono atau few,
maka kekuasaan tersebut dinamakan demokrasi. Di dalam sejarah politik,
jenis kekuasaan demokrasi yang dikenal terdiri dari dua kategori.
Kategori pertama adalah demokrasi langsung (direct democracy) dan
demokrasi perwakilan (representative democracy).
Demokrasi langsung berarti rakyat memerintah dirinya secara langsung,
tanpa perantara. Salah satu pendukung demokrasi langsung adalah Jean
Jacques Rousseau, di mana Rousseau ini mengemukakan 4 kondisi yang
memungkinkan bagi dilaksanakannya demokrasi langsung yaitu:
- Jumlah warganegara harus kecil.
- Pemilikan dan kemakmuran harus dibagi secara merata (hampir merata).
- Masyarakat harus homogen (sama) secara budaya.
- Terpenuhi di dalam masyarakat kecil yang bermata pencaharian pertanian.
Pertanyaan kemudian adalah: Mungkinkan
keadaan yang digambarkan Rousseau itu ada di era negara modern saat ini?
Jumlah warganegara negara-negara di dunia rata-rata berada di atas
jumlah 1-2 juta jiwa, pemilikan harta sama sekali tidak merata, secara
budaya masyarakat relatif heterogen (beragam) yang ditambah dengan
infiltrasi budaya asing, dan pencaharian penduduk dunia tengah beralih
dari pertanian ke industri. Masih mungkinkah demokrasi langsung
dilaksanakan?
Di dalam demokrasi langsung, memang kedaulatan rakyat lebih terpelihara
oleh sebab kekuasaannya tidak diwakilkan. Semua warganegara ikut
terlibat di dalam proses pengambilan keputusan, tanpa ada yang tidak
ikut serta. Namun, di zaman pelaksanaan demokrasi langsung sendiri,
yaitu di masa negara-kota Yunani Kuno, ada beberapa kelompok masyarakat
yang tidak diizinkan untuk ikut serta di dalam proses demokrasi langsung
yaitu: budak, perempuan, dan orang asing.
Dengan alasan kelemahan demokrasi langsung, terutama oleh
ketidakrealistisannya untuk diberlakukan dalam keadaan negara modern,
maka demokrasi yang saat ini dikembangkan adalah demokrasi perwakilan.
Di dalam demokrasi perwakilan, tetap rakyat yang memerintah. Namun, itu
bukan berarti seluruh rakyat berbondong-bondong datang ke parlemen atau
istana negara untuk memerintah atau membuat UU. Tentu tidak demikian.
Rakyat terlibat secara ‘total’ di dalam mekanisme pemilihan pejabat
(utamanya anggota parlemen) lewat Pemilihan Umum periodik (misal: 4 atau
5 tahun sekali). Dengan memilih si anggota parlemen, rakyat tetap
berkuasa untuk membuat UU, akan tetapi keterlibatan tersebut melalui si
wakil. Wakil ini adalah orang yang mendapat delegasi wewenang dari
rakyat. Di Indonesia, 1 orang wakil rakyat (anggota parlemen) kira-kira
mewakili 300.000 orang pemilih.
Dengan demokrasi perwakilan, rakyat tidak terlibat secara penuh di dalam
membuat UU negara. Misalnya saja, dari hampir 200 juta jiwa warganegara
Indonesia, proses pemerintahan demokrasi di tingkat parlemen hanya
dilakukan oleh 500 orang wakil rakyat yang duduk menjadi anggota DPR.
Bandingkan kalau saja Indonesia menerapkan demokrasi langsung di mana
200 juta rakyat Indonesia duduk di parlemen. Kacau dan pasti memakan
biaya mahal, bukan? Dengan kenyataan ini maka demokrasi perwakilan lebih
praktis ketimbang demokrasi langsung.
Dalam demokrasi, baik langsung ataupun tidak langsung, keterlibatan
rakyat menjadi tujuan utama penyelenggaraan negara. Masing-masing
individu rakyat pasti ingin kepentinganyalah yang terlebih dahulu
dipenuhi. Oleh sebab keinginan tersebut ingin didahulukan, dan pihak
lain pun sama, dan jika hal ini berujung pada situasi chaos (kacau)
bahkan perang (bellum omnium contra omnes --- perang semua lawan semua),
maka bukan demokrasi lagi namanya melainkan mobokrasi. Mobokrasi adalah
bentuk buruk dari demokrasi, di mana rakyat memang berdaulat tetapi
negara berjalan dalam situasi perang dan tidak ada satu pun kesepakatan
dapat dibuat secara damai.
4. Timokrasi
Menurut Stanley Rosen, Timokrasi adalah jenis kekuasaan yang pernah
disebutkan oleh Sokrates, filosof Yunani. Timokrasi dirujuk Sokrates
dalam menggambarkan rezim pemerintahan negara kota Sparta. Konsep ini
mengacu pada “timocratic man”, yaitu seseorang yang gandrung akan
kemenangan dan kehormatan. Timokrasi terletak di posisi tengah antara
Aristokrasi dan Oligarki. Juga disebutkan Timokrasi adalah Aristokrasi
yang tengah mengalami kemerosotan ke arah jenis kekuasaan Oligarki.
Jika Aristokrasi adalah jenis pemerintahan ideal, penuh keberanian dan
kehormatan dalam pemerintahan. Namun, tatkala keberanian dan kehormatan
dari kekuasaan di tangan beberapa orang atau kelompok ini (aristokrasi)
mulai diwarnai motivasi kesejahteraan pribadi atau kelompok, maka
dimulaikan Timokrasi. Timokrasi bukan Oligarki, oleh sebab di dalam
Timokrasi, menurut Sokrates, masih meniru Aristokrasi. Barulah, tatkala
proses peniruan kualitatif atas Aristokrasi tidak lagi terjadi,
Timokrasi merosot menjadi Oligarki.
5. Oklokrasi
Mirip dengan definisi Mobokrasi. Oklokrasi adalah situasi negara dalam
anarki massa. Pemerintahan ini tidak legal dan konstitusional. Namun,
karena --biasanya-- kelompok-kelompok massa tersebut punya senjata atau
massa besar, mereka memerintah memanfaatkan rasa takut. Amerika Serikat
tahun 1930-an hampir masuk ke dalam kategori ini, di mana
keluarga-keluarga mafia mengendalikan negara secara ilegal dan
inkonstitusional.
6. Plutokrasi
Plutokrasi adalah jenis kekuasaan di mana negara “disetir” oleh
orang-orang kaya. Plutokrasi ini mirip dengan Oligarki. Namun,
Plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrim ketimpangan
antara “kaya” dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa
dalam Plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber-sumber ekonomi dan
politik, melainkan juga sumber-sumber militer (pasukan, senjata,
teknologi). Dalam kondisi seperti ini, Plutokrat biasanya, secara de
facto, lebih berkuasa ketimbang pemerintah resmi.
7. Kleptokrasi
Kleptokrasi adalah jenis kekuasaan dimana pejabat publik menggunakan
kekuasaan publiknya untuk mencuri kekayaan negara (korupsi otomatis).
Kleptokrasi juga disebut sebagai korupsi yang dilakukan oleh para
pejabat tingkat tinggi yang secara sistematis menggunakan posisinya
untuk mengalirkan dana publik ke dalam kantong-kantong pribadinya.
Semakin massal tindak korupsi oleh para pejabat publik, maka semakin
mendekati suatu negara menganut jenis pemerintahan Kleptokrasi.
Bentuk-Bentuk Negara
Bentuk-bentuk negara yang dikenal hingga saat ini terdiri dari tiga
bentuk yaitu Konfederasi, Kesatuan, dan Federal. Meskipun demikian,
bentuk negara Konfederasi kiranya jarang diterapkan di dalam
bentuk-bentuk negara pada masa kini. Namun, untuk keperluan analisis,
baiklah di dalam materi kuliah ini dicantumkan pula masalah Konfederasi
minimal untuk lebih meluaskan wawasan kita mengenai bentuk-bentuk negara
yang ada.
1. Negara Konfederasi
Bagi L. Oppenheim, “konfederasi terdiri dari beberapa negara yang
berdaulat penuh yang untuk mempertahankan kedaulatan ekstern (ke luar)
dan intern (ke dalam) bersatu atas dasar perjanjian internasional yang
diakui dengan menyelenggarakan beberapa alat perlengkapan tersendiri
yang mempunyai kekuasaan tertentu terhadap negara anggota Konfederasi,
tetapi tidak terhadap warganegara anggota Konfederasi itu.”
Menurut kepada definisi yang diberikan oleh L. Oppenheim di atas, maka
Konfederasi adalah negara yang terdiri dari persatuan beberapa negara
yang berdaulat. Persatuan tersebut diantaranya dilakukan demi
mempertahankan kedaulatan dari negara-negara yang masuk ke dalam
Konfederasi tersebut. Pada tahun 1963, Malaysia dan Singapura pernah
membangun suatu Konfederasi, yang salah satunya dimaksudkan untuk
mengantisipasi politik luar negeri yang agresif dari Indonesia di masa
pemerintahan Sukarno. Malaysia dan Singapura mendirikan Konfederasi
lebih karena alasan pertahanan masing-masing negara.
Dalam Konfederasi, aturan-aturan yang ada di dalamnya hanya berefek
kepada masing-masing pemerintah (misal: pemerintah Malaysia dan
Singapura), dengan tidak mempengaruhi warganegara (individu warganegara)
Malaysia dan Singapura. Meskipun terikat dalam perjanjian, pemerintah
Malaysia dan Singapura tetap berdaulat dan berdiri sendiri tanpa
intervensi satu negara terhadap negara lainnya di dalam Konfederasi.
Miriam Budiardjo menjelaskan bahwa Konfederasi itu sendiri pada
hakekatnya bukan negara, baik ditinjau dari sudut ilmu politik maupun
dari sudut hukum internasional. Keanggotaan suatu negara ke dalam suatu
Konfederasi tidaklah menghilangkan ataupun mengurangi kedaulatan setiap
negara yang menjadi anggota Konfederasi. Untuk lebih jelasnya, mari kita
lihat skema berikut:
Garis putus-putus yang melambangkan
‘rantai komando’ dari Konfederasi menuju Pemerintah Negara A, B, dan C,
dimaksudkan guna menunjukkan hirarki yang kurang tegas antara kedua
‘negara’ tersebut (tanpa petunjuk panah plus garis putus-putus). Dapat
dilihat misalnya, garis ‘komando’ hanya beranjak dari Konfederasi menuju
pemerintah negara A, B, dan C, tetapi tidak pada warganegara di ketiga
negara.
Garis ‘komando’ langsung terhadap warganegara di masing-masing negara
dilakukan oleh pemerintah masing-masing. Kesediaan pemerintah ketiga
negara berdaulat untuk bergabung ke dalam konfederasi lebih disebabkan
oleh motivasi sukarela ketimbang kewajiban. Pengaruh Konfederasi
terhadap ketiga negara berdaulat (A, B, dan C) hanya bersifat kecil
saja. Mengenai ‘lingkaran’ yang melingkupi masing-masing pemerintah dan
negara bagaian mengindikasikan kedaulatan yang tetap ada di
masing-masing negara anggota Konfederasi.
2. Kesatuan
Negara Kesatuan adalah negara yang pemerintah pusat atau nasional
memegang kedudukan tertinggi, dan memiliki kekuasaan penuh dalam
pemerintahan sehari-hari. Tidak ada bidang kegiatan pemerintah yang
diserahkan konstitusi kepada satuan-satuan pemerintahan yang lebih kecil
(dalam hal ini, daerah atau provinsi).
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat (nasional) bisa melimpahkan
banyak tugas (melimpahkan wewenang) kepada kota-kota,
kabupaten-kabupaten, atau satuan-satuan pemerintahan lokal. Namun,
pelimpahan wewenang ini hanya diatur oleh undang-undang yang dibuat
parlemen pusat (di Indonesia DPR-RI), bukan diatur di dalam konstitusi
(di Indonesia UUD 1945), di mana pelimpahan wewenang tersebut bisa saja
ditarik sewaktu-waktu.
Pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian
kekuasaannya kepada daerah berdasarkan hak otonomi, di mana ini dikenal
pula sebagai desentralisasi. Namun, kekuasaan tertinggi tetap berada di
tangan pemerintah pusat dan dengan demikian, baik kedaulatan ke dalam
maupun kedaulatan ke luar berada pada pemerintah pusat.
Miriam Budiardjo menulis bahwa yang menjadi hakekat negara Kesatuan
adalah kedaulatannya tidak terbagi dan tidak dibatasi, di mana hal
tersebut dijamin di dalam konstitusi. Meskipun daerah diberi kewenangan
untuk mengatur sendiri wilayahnya, tetapi itu bukan berarti pemerintah
daerah itu berdaulat, sebab pengawasan dan kekuasaan tertinggi tetap
berada di tangan pemerintah pusat. Pemerintah pusat-lah sesungguhnya
yang mengatur kehidupan setiap penduduk daerah.
Keuntungan negara Kesatuan adalah adanya keseragaman Undang-Undang,
karena aturan yang menyangkut ‘nasib’ daerah secara keseluruhan hanya
dibuat oleh parlemen pusat. Namun, negara Kesatuan bisa tertimpa beban
berat oleh sebab adanya perhatian ekstra pemerintah pusat terhadap
masalah-masalah yang muncul di daerah.
Penanganan setiap masalah yang muncul di daerah kemungkinan akan lama
diselesaikan oleh sebab harus menunggu instruksi dari pusat terlebih
dahulu. Bentuk negara Kesatuan juga tidak cocok bagi negara yang jumlah
penduduknya besar, heterogenitas (keberagaman) budaya tinggi, dan yang
wilayahnya terpecah ke dalam pulau-pulau. Untuk lebih memperjelas
masalah negara Kesatuan ini, baiklah kami buat skema berikut:
Ada sebagian kewenangan yang
didelegasikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, yang dengan
kewenangan tersebut pemerintah daerah mengatur penduduk yang ada di
dalam wilayahnya. Namun, pengaturan pemerintah daerah terhadap penduduk
di wilayahnya lebih bersifat ‘instruksi dari pusat’ ketimbang
improvisasi dan inovasi pemerintah daerah itu sendiri.
Dalam negara Kesatuan, pemerintah pusat secara langsung mengatur
masing-masing penduduk yang ada di setiap daerah. Misalnya, pemerintah
pusat berwenang menarik pajak dari penduduk daerah, mengatur kepolisian
daerah, mengatur badan pengadilan, membuat kurikulum pendidikan yang
bersifat nasional, merelay stasiun televisi dan radio pemerintah ke
seluruh daerah, dan bahkan menunjuk gubernur kepala daerah.
3. Federasi
Negara Federasi ditandai adanya pemisahan kekuasaan negara antara
pemerintahan nasional dengan unsur-unsur kesatuannya (negara bagian,
provinsi, republik, kawasan, atau wilayah). Pembagian kekuasaan ini
dicantumkan ke dalam konstitusi (undang-undang dasar). Sistem
pemerintahan Federasi sangat cocok untuk negara-negara yang memiliki
kawasan geografis luas, keragaman budaya daerah tinggi, dan ketimpangan
ekonomi cukup tajam.
Apakah ada perbedaan antara Konfederasi dengan Federasi ? Ya, ada!
Negara-negara yang menjadi anggota suatu Konfederasi tetap merdeka
sepenuhnya atau berdaulat, sedangkan negara-negara yang tergabung ke
dalam suatu Federasi kehilangan kedaulatannya, oleh sebab kedaulatan ini
hanya ada di tangan pemerintahan Federasi.
Di Amerika Serikat, terdapat 50 negara bagian semisal Alabama, New
Hampshire, New Mexico, Maine, Utah, Wisconsin, South Dakota, Wyoming,
West Virginia, Nevada, New Jersey, Florida, Hawaii, Alaska, New Mexico,
California, Kansas, Phoenix, Nebraska, Pennsylvania, atau Texas.
Negara-negara bagian ini tidaklah berdaulat sendiri-sendiri melainkan
kedaulatan tersebut hanya ada di tangan pemerintah Federasi yang dikenal
sebagai United States of America (Amerika Serikat) dengan ibukotanya di
Washington D.C. (District Columbia) itu!
Bagaimana selanjutnya, adakah perbedaan antara negara Federasi dengan
negara Kesatuan ? Ya, juga ada! Negara-negara bagian suatu Federasi
memiliki wewenang untuk membentuk undang-undang dasar sendiri serta pula
wewenang untuk mengatur bentuk organisasi sendiri dalam batas-batas
konstitusi federal, sedangkan di dalam negara Kesatuan, organisasi
pemerintah daerah secara garis besar telah ditetapkan oleh undang-undang
dari pusat.
Selanjutnya pula, dalam negara Federasi, wewenang membentuk
undang-undang pusat untuk mengatur hal-hal tertentu telah terperinci
satu per satu dalam konstitusi Federal, sedangkan dalam negara Kesatuan,
wewenang pembentukan undang-undang pusat ditetapkan dalam suatu rumusan
umum dan wewenang pembentukan undang-undang lokal tergantung pada badan
pembentuk undang-undang pusat itu. Berikut hirarki negara Federasi:
Di dalam negara Federasi, kedaulatan
hanya milik pemerintah Federal, bukan milik negara-negara bagian. Namun,
wewenang negara-negara bagian untuk mengatur penduduk di wilayahnya
lebih besar ketimbang pemerintah daerah di negara Kesatuan.
Wewenang negara bagian di negara Federasi telah tercantum secara rinci
di dalam konstitusi federal, misalnya mengadakan pengadilan sendiri,
memiliki undang-undang dasar sendiri, memiliki kurikulum pendidikan
sendiri, mengusahakan kepolisian negara bagian sendiri, bahkan melakukan
perdagangan langsung dengan negara luar seperti pernah dilakukan
pemerintah Indonesia dengan negara bagian Georgia di Amerika Serikat di
masa Orde Baru.
Kendatipun negara bagian memiliki wewenang konstitusi yang lebih besar
ketimbang negara Kesatuan, kedaulatan tetap berada di tangan pemerintah
Federal yaitu dengan monopoli hak untuk mengatur Angkatan Bersenjata,
mencetak mata uang, dan melakukan politik luar negeri (hubungan
diplomatik). Kedaulatan ke dalam dan ke luar di dalam negara Federasi
tetap menjadi hak pemerintah Federal bukan negara-negara bagian.
Korelasi Demografis dengan Bentuk Negara dan Pemerintahan
Guna memperlihatkan korelasi antara bentuk negara, luas wilayah, jumlah
penduduk, bentuk pemerintahan, dan bentuk negara, di bawah ini kami
cantumkan 20 negara dari beragam belahan dunia. Perhatikan tabel di
bawah ini:
Dari tabel di atas dapat kita sama-sama
lihat bahwa negara-negara dengan luas wilayah besar (di atas 1 juta
kilometer persegi), biasanya memilih bentuk negara Federasi, kecuali
Indonesia, Mesir, dan Bolivia.
Namun, antara Indonesia, Mesir dan Bolivia terdapat sejumlah perbedaan.
Indonesia terpecah ke dalam pulau-pulau di mana penduduk di
masing-masing pulau tersebut memiliki budaya yang saling berbeda.
Sementara Mesir dan Bolivia seluruh wilayahnya berada di daratan. Jumlah
penduduk Bolivia dan Mesir pun jauh berada di bawah jumlah penduduk
Indonesia.
Anda pun dapat menganalisis berdasarkan tabel di atas khususnya
sehubungan dengan masalah keragaman budaya di masing-masing negara
dengan pemilihan bentuk negara (Federasi atau Kesatuan). Di Indonesia
sendiri, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam telah diberi hak untuk
menerapkan sistem hukum sendiri (syariat Islam), tetapi tetap tidak
diperbolehkan memiliki angkatan perang, mata uang, dan melakukan politik
luar negeri sendiri. Apakah Indonesia tengah berjalan menuju bentuk
negara Federasi atau tidak? Bagaimana argumentasi Anda?
Bentuk Pemerintahan
Pemerintahan tidak sekedar menyangkut pihak eksekutif, melainkan juga
eksekutif. Dalam pembicaraan mengenai bentuk pemerintahan, kita
sekaligus menelaah hubungan antara badan eksekutif dengan legislatif.
Pembicaraan ini juga menyangkut bagaimana proses perekrutan anggota
eksekutif dan legislatif di suatu negara.
Dua bentuk pemerintahan yang paling luas digunakan negara-negara di
dunia adalah Parlementer dan Presidensil. Kedua bentuk tersebut memiliki
mekanisme perekrutan yang berbeda satu dengan lainnnya.
1. Bentuk Pemerintahan Parlementer
Dalam sistem Parlementer, warganegara tidak memilih kepala negara secara
langsung. Mereka memilih anggota-anggota dewan perwakilan rakyat, yang
diorganisasi ke dalam satu atau lebih partai politik. Umumnya, sistem
Parlementer mengindikasikan hubungan kelembagaan yang erat antara
eksekutif dan legislatif.
Kepala pemerintahan dalam sistem Parlementer adalah perdana menteri
(disebut Premier di Italia atau Kanselir di Jerman). Perdana menteri
memilih menteri-menteri serta membentuk kabinet berdasarkan suatu
‘mayoritas’ dalam parlemen (berdasarkan jumlah suara yang didapat
masing-masing partai di dalam Pemilu). Untuk lebih memberi kejelasan
mengenai sistem Parlementer ini, baiklah digambarkan terlebih dahulu
skema berikut:
Dalam bentuk pemerintahan parlementer,
pemilu hanya diadakan satu macam yaitu untuk memilih anggota parlemen.
Lewat mekanisme pemilihan umum, warganegara memilih wakil-wakil mereka
untuk duduk di parlemen. Wakil-wakil yang mereka pilih tersebut
merupakan anggota dari partai-partai politik yang ikut serta di dalam
pemilihan umum.
Jika sebuah partai memenangkan suara secara mayoritas (misalnya 51%
suara pemilih), maka secara otomatis, ketua partai tersebut menjadi
perdana menteri. Selanjutnya, tugas yang harus dilakukan si perdana
menteri ini adalah membentuk kabinet, di mana anggota-anggota kabinet
diajukan oleh para anggota parlemen terpilih, sehingga anggota kabinet
dapat berasal baik dari partainya sendiri maupun partai saingannya yang
punya jumlah suara signifikan. Menteri-menteri inilah yang nantinya
mengarahkan atau mengepalai kementerian-kementerian yang dibentuk.
Jika pemilu tidak menghasilkan jumlah suara mayoritas (misalnya 30%
hingga 50%), maka partai-partai harus berkoalisi untuk kemudian memilih
siapa perdana menterinya. Biasanya, partai dengan jumlah suara paling
besar-lah yang ketua partainya menjadi perdana menteri di dalam koalisi
(kabinet koalisi). Susunan kabinet pun, dengan koalisi ini, tidak bisa
dimonopoli oleh satu partai saja, layaknya ketika pemilu menghasilkan
suara mayoritas 51%. Masing-masing partai yang berkoalisi biasanya
menuntut ‘jatah’ menteri sesuai dengan jumlah suara yang mereka hasilkan
dalam pemilu. Untuk selanjutnya, perdana menteri (beserta kabinetnya)
bertanggung jawab kepada parlemen sebagai representasi rakyat hasil
pemilihan umum.
Dalam bentuk parlementer, perdana menteri menjadi kepala pemerintahan
sekaligus pemimpin partai. Dalam sistem parlementer, partai yang menang
dan masuk ke dalam kabinet menjadi ‘pemerintah’ sementara yang tetap
berada di dalam parlemen menjadi ‘oposisi.’
Hal yang menarik adalah, anggota-angggota parlemen yang menjadi oposisi
membentuk semacam ‘kabinet bayangan.’ Jika kabinet pemerintah ‘jatuh’,
maka ‘kabinet bayangan’ inilah yang akan menggantikannya lewat pemilu
‘yang dipercepat’ atau pemilihan perdana menteri baru. Sistem ‘kabinet
bayangan’ ini berlangsung efektif di Inggris di mana ‘kabinet bayangan’
tersebut bekerja layaknya kabinet pemerintah dan … digaji pula.
Matthew Soberg Shugart menyatakan bahwa, bentuk pemerintahan parlementer murni adalah sebagai berikut:
Executive authority, consisting of a prime minister and cabinet, arises out of the legislative assembly;
The executive is at all times subject to
potential dismissal via a vote of “no confidence” by a majority of the
legislative assembly.
Shugart menekankan bahwa hubungan antara
legislatif dan eksekutif dalam parlementer bersifat hirarkis. Dalam
poin 1, otoritas eksekutif terdiri atas perdana menteri dan kabinet.
Keduanya lahir dari parlemen (legislatif). Karena keduanya lahir dari
parlemen, maka baik perdana menteri ataupun anggota kabinet merupakan
sasaran potensial bagi “mosi tidak percaya” yang disuarakan oleh
parlemen. Mudahnya, posisi perdana menteri dan para menterinya amat
bergantung pada kepercayaan politik yang diberikan para anggota
parlemen. Sebab itu, secara hirarkis, posisi perdana menteri dan anggota
kabinet ada di bawah parlemen atau, eksekutif berada di bawah
legislatif.
Shugart juga menambahkan bahwa sistem pemerintahan Parlementer punya 2
varian, yaitu : (1) Parlementer Mayoritas dan (2) Parlementer
Transaksional.
Parlementer Mayoritas. Sistem ini berkembang kala satu partai
memperoleh mayoritas kursi di parlemen. Jika terjadi kondisi seperti
ini, maka hubungan antara legislatif dan eksekutif bersifat hirarkis di
mana legislatif berada di atas eksekutif. Kajian yang dilakukan Walter
Bagehot (1867-1963) menunjukkan derajat hirarkis seperti ini masih
terjadi antara kepemimpinan partai mayoritas di dalam parlemen terhadap
eksekutif. Namun, pasca Bagehot muncul keadaan di mana konsentrasi
kekuasaan ada di tangan kepemimpinan partai mayoritas (partai itu
sendiri) ketimbang kepemimpinan partai di dalam parlemen. Kondisi lain
yang juga mengemuka, pimpinan partai yang duduk di dalam kabinet semakin
beroleh otonomi yang lebih besar dan cenderung “lepas” dari sokongan
politik mereka di parlemen. Ini misalnya terjadi di Inggris atau negara
yang menganut demokrasi Westminster.
Parlementer Transaksional. Jika tidak terdapat mayoritas di dalam
parlemen, eksekutif dalam sistem parlementer akan terdiri dari koalisi.
Kabinet dalam koalisi ini bertahan selama koalisi mampu menjamin
mayoritas. Alternatif-nya, pemerintahan minoritas mungkin saja
terbentuk, di mana kabinet tetap ada sejauh oposisi tidak membangun
aliansi guna menghentikannya. Parlementer Transaksional ini bersifat
hirarkis dalam rangka hubungan legislatif – eksekutif-nya.
2. Bentuk Pemerintahan Presidensil
Presidensil cenderung memisahkan kepala eksekutif dari dewan perwakilan
rakyat. Sangat sedikit media tempat di mana eksekutif dan legislatif
dapat saling bertanya satu sama lain. Untuk lebih jelasnya, mari kita
lihat skema presidensil di bawah ini :
Dalam sistem presidensil, pemilu
diadakan dua macam. Pertama untuk memilih anggota parlemen dan kedua
untuk memilih presiden. Presiden inilah yang dengan hak prerogatifnya
menunjuk pembantu-pembantunya, yaitu menteri-menteri di dalam kabinet.
Pola penunjukkan menteri oleh presiden ini efektif di dalam sistem dua
partai, di mana dengan dua partai yang bersaing tersebut, pasti salah
satu partai akan menang secara mayoritas. Di dalam sistem banyak partai,
penunjukkan menteri oleh presiden juga dapat efektif jika salah satu
partai menang secara 51%.
Di Indonesia yang bersistemkan presidensil, mekanisme penunjukkan
anggota kabinet efektif di masa pemerintahanan Soeharto. Namun, di masa
reformasi, pemenang pemilu, misalnya PDI-P, hanya mengantongi sekitar
35% suara, dan itu tidaklah mayoritas, sehingga di dalam menunjuk
menteri-menteri Megawati harus mempertimbangkan pendapat dari
partai-partai lain, apalagi yang punya suara cukup besar seperti Golkar,
PPP, PAN, dan PKB.
Di dalam sistem presidensil, presiden tidak bertanggung jawab kepada
parlemen (DPR) tetapi langsung kepada rakyat. Sanksi jika presiden
dianggap tidak ‘menrespon hati nurani rakyat’ dapat berujung pada dua
jalan: pertama, tidak memilih lagi si presiden tersebut dalam proses
pemilihan umumj, dan kedua, mengadukan pelanggaran-pelanggaran yang
presiden lakukan kepada parlemen. Parlemen inilah yang nanti menggunakan
hak kontrolnya untuk mempertanyan sikap-sikap presiden yang diadukan
‘rakyat’ tersebut. Jadi, berbeda dengan Parlementer —di mana jika si
perdana menteri dianggap tidak bertanggung jawab, parlemen, terutama
partai-partai oposisi, dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada
perdana menteri yang jika didukung oleh 51% suara parlemen, si perdana
menteri tersebut beserta kabinetnya terpaksa harus mengundurkan diri—
dalam sistem presidensil, hal seperti ini sulit untuk dilakukan
mengingat yang memilih si presiden bukanlah parlemen melainkan rakyat
secara langsung.
Matthew Soberg Shugart menyatakan, bentuk murni dari presidensil adalah sebagai berikut:
- Eksekutif dikepalai oleh presiden yang dipilih rakyat secara langsung dan ia merupakan “kepala eksekutif.”
- Posisi eksekutif dan legislatif didefinisikan secara jelas dan keduanya tidak saling bergantung.
- Presiden memilih dan mengarahkan kabinet dan punya sejumlah kewenangan pembuatan legislasi yang diatur secara konstitusional.
Bagi Shugart, posisi hubungan eksekutif
dan legislatif adalah transaksional. Keduanya independen satu sama lain
karena dipilih rakyat lewat dua pemilu berbeda. Posisi legislatif tidak
lebih tinggi ketimbang eksekutif dan demikian pula sebaliknya. Namun,
eksekutif dan legislatif terlibat dalam hubungan pertukaran
(transaksional) seputar keputusan-keputusan atau kebijakan-kebijakan
politik bergantung permasalahan yang mengemuka.
Varian bentuk sistem Presidensil terjadi bergantung kebutuhan presiden
dalam melakukan transaksi dengan legislatif. Kebutuhan tersebut utamanya
dalam hal presiden mengimplementasikan kebijakan.
Kala parlemen terdiri atas partai mayoritas, baik itu partai-nya
presiden atau bukan, pasti terdapat kapasitas institusional untuk
tawar-menawar dengan presiden seputar kepentingan partai mayoritas
tersebut. Dalam konteks ini, presiden mungkin tidak membutuhkan kabinet
yang merefleksikan transaksi eksekutif-legislatif. Legislatif dan
eksekutif yang otonomi tercipta.
Kala parlemen terfragmentasi dan presiden punya dukungan yang kurang
memadai dari parlemen. Sementara itu, presiden memilih tidak membentuk
kabinet yang mencerminkan komposisi suara dalam parlemen dengan alasan
persetujuan dengan parlemen akan membatasi kemampuannya mengimplementasi
kebijakan. Jika ini yang terjadi, maka akan tercipta pola “anarkis” di
mana presiden terus menerus diganggu dan tidak ada program-program
pemerintah yang tuntas terlaksana akibat gangguan tersebut.
Kala tidak terdapat mayoritas legislatif tetapi terdapat dukuan partisan
substansial bagi presiden di parlemen, maka presiden butuh dan ingin
melakukan transaksi dengan parlemen seputar kabinet. Transaksi ini dalam
rangka menghubungkan legislatif dan eksekutif bersama dan memfasilitasi
tawar-menawar legislatif.
3. Semi Presidensil
Shugart memuat pernyataan Maurice Duverger tahun 1980 tentang sistem
pemerintahan campuran. Sistem campuran ini ia sebut Semi-Presidensial.
Lebih lanjut, Shugart menyatakan bahwa ciri utama dari Semi-Presidensial
adalah:
- Presiden dipilih langsung oleh rakyat;
- Presiden punya kewenangan konstitusional terbatas;
- Terdapat pula Perdana Menteri dan Kabinet, yang merupakan kepanjangan tangan dari mayoritas di parlemen.
Semi-Presidensial juga disebut Blondell
tahun 1984 sebagai “Dual Excecutive”. Dual executive terjadi kala
presiden tidak hanya kepala negara yang kurang otoritas politiknya,
tetapi juga bukan kepala pemerintahan (eksekutif) yang sesungguhnya,
karena juga terdapat Perdana Menteri yang punya hubungan kuat dengan
parlemen dan merefleksikan demokrasi parlementer. Namun, rupa hubungan
antara Presiden, Perdana Menteri, Kabinet, dan Parlemen berbeda-beda
antara negara-negara yang menerapkan Semi-Presidensial tersebut.
Varian sistem Semi-Presidensial yaitu: (1) Premier-Presidensil dan (2)
President-Parlementer. Kedua varian ini akibat cukup bervariasinya
praktek-praktek Semi-Presidensial untuk hanya secara ketat dimasukkan ke
dalam terminologi Duverger. Variasi praktek tersebut dalam hal kekuasan
konstitusional formal ataupun perilaku aktual pemerintah di
masing-masing negara. Presiden mungkin terkesan sangat kuat di satu
negara, sementara amat lemah di negara lainnya.
Premier-Presidensil. Dalam Premier-Presidensil, perdana menteri dan
kabinet secara eksklusif bertanggung jawab kepada mayoritas parlemen.
Ini berbeda dengan President-Parlementer dimana perdana menteri dan
kabinet bertanggung jawab kepada dua pihak yaitu presiden dan mayoritas
parlemen.
Dalam Premier-Presidensil pula, hanya mayoritas parlemen saja yang
berhak memberhentikan kabinet. Ini membuat Premier-Presidensil sangat
dekat dengan Parlementer. Namun, ia tetap punya ciri Presidensil, yaitu
bahwa presiden punya kewenangan konstitusional untuk bertindak secara
independen di hadapan parlemen. Keindependenan tersebut bisa dalam hal
membentuk pemerintahan ataupun pembuatan undang-undang.
Presiden-Parlementer. Dalam sistem ini presiden menikmatik kekuasaan
konstitusional yang lebih kuat atas komposisi kabinet ketimbang di
Premier-Presidensil. Otoritas presiden dalam Presiden-Parlementer juga
bisa terbatas akibat orang yang dinominasikan untuk menjadi perdana
menteri harus dikonfirmasi terlebih dahulu oleh mayoritas parlemen.
Presiden-Parlementer menciptakan pertanggungjawaban ganda perdana
menteri dan kabinet, yaitu kepada presiden dan parlemen. Sistem ini juga
menempatkan presiden dalam posisi relatif kuat ketimbang
Premier-Presidensil .
4. Hybryd Lainnya
Selain Semi-Presidensial, terdapat pula model hybryd sistem pemerintahan
yang bukan parlementer, bukan presidensil, dan bukan Semi-Presidensial.
Model pemerintahan ini terdapat di Swiss di mana terdapat eksekutif
yang dipilih dari parlemen dan memiliki jangka waktu kekuasaan yang fix
(tidak bisa diganggu oleh parlemen). Model ini juga ada di Israel, di
mana kepala eksekutif yang dipilih langsung rakyat sekaligus punya
posisi yang punya ketergantungan tinggi pada parlemen.
Demi memberikan gambaran lebih rinci seputar persebaran anutan sistem
pemerintahan di dunia, baiklah kami kutipkan taksonomi dari Matthew
Soberg Shugart berikut ini: